Menunggu Bapak Pulang Oleh: Rudi Elv
Hamparan pasir tersapu buih, memutih begitu sisa ombak merayap dan mengering seketika. Bandi berjalan dengan lesu dibibir pantai itu, irama langkahnya tak berubah, bibirnya terkatub rapat, nampaknya rona keceriaan sudah tak tergambar di bola matanya.
( pupil matanya tak mampu menyembunyikan kebohongan setiap kali riak itu menyentuh jendela hatinya yang kecil, tetesan air yang perlahan naik diatas laut begitu matahari tepat berada diatasnya saja masih tak sanggup menolak rengkuhan sang surya, mengambang dan pasrah )
Haruskah emaknya tau jika dia sudah berkali kali di panggil kepala sekolah perkara uang SPP yang sudah nunggak 4 bulan? Melihat kondisi keluarganya sebenarnya Bandi tidak tega, sebagai anak laki laki tertua Bandi ingin sekali meringankan beban orang tuanya yang hanya nelayan kecil.
“Bandi ndak usah sekolah saja ya pak!” kata kata itu terus terngiang dalam otaknya
.” Jangan Bandi, kamu harus tetap sekolah!” kata bapaknya.
“ tapi pak! Sekolah kan mahal?”
“ tak apa nak!,bapak masih sanggup membiayaimu” sambung bapak dengan penuh keyakinan. Bandi diam padahal dia tau bapak tidak sanggup membiayai sekolahnya, belum lagi kebutuhan mereka sehari hari, apalagi 2 adiknya yang masih kecil butuh makan yang cukup biar tidak kekurangan gizi.penghasilan bapaknya sebagai seorang nelayan tidaklah besar,tergantung tangkapan yang didapat itupun harus dibagi lagi dengan mang Doblang dan mang Jumali, belum lagi bayar sewa perahu kepada juragan Mahmud setiap kali habis melaut.
( Bandi masih bimbang dipinggir pantai, matanya nanar menghujam hamparan laut biru yang dicumbui camar camar terbang rendah seolah mengajaknya menari, tapi hari ini anak laki laki itu nampaknya lagi tidak ingin menari,apalagi membenamkan tubuhnya ke dalam air laut. Jejak langkah yang tertinggal dibibir pantai entah sudah berapa jauh )
Bandi si laki laki kecil itupun memungut batu kecil dan meleparkannya ke tengah laut,sekedar melepas gundah yang tengah melanda hatinya, kemudian menyandarkan tubuhnya dibawah pohon nyiur yang menjulang tinggi. Tidak ada cita cita yang tergantung disana, apalagi keinginannya sudah melambung di awan tinggi semakin tak tergapai oleh dua tangan kecilnya itu. Sorepun semakin beranjak, rona jingga diufuk barat sudah membias perlahan, Bandi masih bersandar dengan sejuta perasaan berkecamuk menjadi gumpalan resah yang semestinya tidak perlu ia rasakan. Tapi apa daya, diapun tak kuasa menolak meskipun pikirannya yang kecil itu tidak mampu menampung semua beban, tapi bagaimanapun laki laki kecil itupun harus siap dengan kenyataan yang dihadapinya sekarang dan besok.
oooOOooo
Pagi buta Bandi kembali bangun pagi, meninggalkan mimpinya yang terpotong , karena dia ingin menyambut kepulangan bapaknya dari melaut, setelah membasuh muka Bandipun bergegas menuju pantai di pinggiran kampung dimana para nelayan merapatkan perahu mereka sehabis menangkap ikan. Tamparan angin subuh memaksa Bandi memakai kain sarungnya menutupi kepala dan tubuhnya, agar cengkraman dingin sang angin sedikit terabaikan. Sudah 2 pekan ini cuaca sangat buruk, hujan badaipun sudah 2 pekan ini pula mulai menjamah bumi,menggoyangkan batang batang pohon dan melemparkan nyiur tua hingga tumbang. Dengan tergesa Bandi berlari menuju pendopo tempat para nelayan melelang ikan. Diapun segera merapat ke pojok tembok begitu sampai, Hujan kembali turun dibarengi tiupan angin kencang.Bandi lantas berjongkok merapatkan sarungnya, rasa kantuk yang tadi masih tersisa seketika lenyap.
( sekian waktu dihanyutkan dalam nyanyian badai,meninggalkan sisa ombak yang merayap mencumbui pasir putih di pantai yang sepi, sesepi nyiur yang melambai sendiri menggapai matahari yang tak mau memberikan hangatnya hidup yang sebenarnya )
Dipendopo itu ternyata sudah ada beberapa penduduk kampung yang sedari semalam sudah disana menunggu para nelayan pulang.
“ Kamu jaga emak dan adik adikmu ya Nak!” pesan Bapak saat hendak melaut 3 hari yang lalu. Saat itu cuaca sudah tidak bersahabat. Bandi mengangguk pelan.
“ enggak usah melaut dulu pak! Cuaca sedang buruk!” sahut emak dari dalam dapur.
“ persediaan beras kita sudah habis mak, bapak juga sudah janji untuk melunasi SPP Bandi yang nunggak!” ujar bapaknya lagi,menyruput kopi yang sudah mulai dingin.
“ Tapi Pak beberapa hari ini hujan badai sudah mulai turun” ingat emak pada bapak.
“ sudah biasa kan mak? sudah ndak usah kawatir, bapak pasti pulang” sambung bapaknya. Bandi diam disudut meja disisi emaknya. kemudian pergilah bapaknya dengan sejuta harapan untuk keluarganya tercinta.
Subuh mulai terang, hujanpun telah pula reda. Bandi berdiri dari duduknya lalu dia berjalan melangkah lebih dekat ke bibir pantai, satu satu perahu nelayan mulai merapat. Mata anak itu menebar diantara perahu yang datang. Suasana pantai kian ramai, anak anak sebaya dengan dirinya berlari menyambut para nelayan pulang, dan mengais sisa sisa ikan yang dibawa para nelayan nelayan tersebut untuk kemudian dijual ke orang orang yang sengaja datang untuk membeli ikan para nelayan. Sudah 2 jam Bandi berdiri disana tapi masih belum menemukan perahu Bapaknya merapat. Hatinya pun mulai resah, Bimbang.
Perasaan kawatirpun menyusup didalam hati kecilnya. Bapak kok belum pulang juga ya? Pikirannya mulai menebak nebak apa yang terjadi dengan perahu bapaknya. Ya Allah lindungilah Bapakku, bawalah kembali Dia pada kami Ya Allah.. Bandipun mulai berdoa dalam ketakutan bayang bayang perahu bapaknya tenggelam.
( sampai matahari sepenggala perahu bapaknya masih juga belum muncul juga. keresahan yang samapun hinggap di hati emaknya yang tidak henti hentinya berdoa sambil menahan tangis, tidak biasanya Bapak tidak pulang setelah 3 hari, biasanya setelah 3 hari dilaut bapaknya pasti pulang, namun sampai sekarang dan sudah hampir sepekan Bapak belum juga pulang. Kekawatiran itu telah berubah menjadi tangisan berkepanjangan Emak dan juga dirinya. )
ooOOoo
Sejak Bapaknya dinyatakan hilang 1 tahun lalu tanggung jawab keluarga kini berada di pundak Bandi. Meski cengkaraman tangannya tak sekokoh Bapaknya, tapi setidaknya dia bisa melakukan sesuatu untuk keluarga. Maka tidak heran bila setiap subuh Bandi sudah berada di pelelangan ikan, dengan menjadi tukang angkut ikan para nelayan atau mengais sisa sisa ikan dan menjualnya ke orang orang cukuplah untuk menghidupi emak dan kedua adiknya. Keinginan sang bapak agar dia terus sekolah tinggal harapan semata, sebab semua tanggung jawab bapaknya sudah beralih kepada dirinya kini, tidak ada perasaan berat ketika dia harus berhenti sekolah, toh dari dulupun sebenarnya Bandi ingin berhenti dan membantu Bapaknya. Sekarang dia mulai belajar untuk tidak meratap dan bertanya kenapa?
( Meskipun sribu duka telah menghantam keluarga mereka, Bandi tetap akan berdiri didepan emak dan adik adiknya. Menghalau hantaman kehidupan yang kadang tak berpihak kepada mereka, apalagi kemiskinan yang menggrogoti keluarga dan memasung langkah hidup mereka, Bandi akan tetap berdiri menghalaunya. Termasuk juga rayuan juragan Mahmud kepada emaknya yang berpura pura menolong penderitaan mereka. dengan siaga dia menjaga kehormatan emaknya.)
“ sudah 2 hari ini kamu berdiri disana Bandi!” ucap Emak, ketika mendapati Bandi termangu di pangkalan perahu nelayan.
” Bandi masih menunggu Bapak Pulang Mak!” jawab Bandi, menoleh kearah emaknya.
“ Sudahlah Nak!, Bapakmu tidak akan kembali..!” suara Emak semakin terdengar giris. Menahan kesedihan terhadap anaknya yang belum bisa menerima kepergian bapaknya.
“ Bandi yakin, Bapak pasti Pulang Mak!” jawab bandi lagi.
“ Sudah setahun Bandi, bapakmu tidak ada kabarnya, sudahlah Nak!” mata emaknya merebak berkaca. Kenapa kamu belum bisa menerima kenyataan ini nak, hati perempuan itu semakin teriris keadaan.
“ tidak mak, Bandi Yakin Bapak Pasti pulang “ kata Bandi pasti, emak segera merangkul anak laki lakinya itu, dan mengusap kepalanya lembut. Emak masih diam lalu menghempaskan sesak dadanya ke hamparan laut yang mulai Gelap. Semoga saja Nak….semoga saja Bapakmu pulang.. bisik hatinya sayup Berdoalah Nak….(*)
pernah terbit di Bangka Pos