Rara By Bayu Pramoedya
Kami berjalan bersisian menapaki jalan berkerikil, nafas yang terengah jelas terdengar dari mulut mungilnya,aku tersenyum melihat tingkah lucunya, apalagi sal yang melingkar dilehernya yang kecil membuat dia semakin cantik saja, kelopak matanya yang sipit tidak pernah lepas memandang hamparan bukit barisan. Ku gandeng tangannya dengan bersenandung lagu yang biasanya…sementara pagi sudah tak berkabut, langitpun tampak cerah, jemari mentari telah pula menjamah tubuh kami yang menikmati aroma pagi dengan keharuman udara perbukitan.
( barisan bangau yang terbang beriringan membelah angkasa,menunjuk pada satu arah akan kemurnian hidup yang terus membentang dan tak ragu menghampiri setiap senyawa yang hidup dalam dunianya…)
begitu mendekati tanah datar dengan rumput yang hijau, engkau segera berlari dan membentangkan tangan dengan senangnya, ah sungguh bahagianya dirimu saat ini sayang, aku tak sanggup melihat tingkahmu yang membuatku selalu merasa kehilangan, bila dirimu tidak ada disisiku…aku diam sesaat dan sengaja membiarkannya bermain dengan ilalang dan rumput yang tak bosan menyambut kedatanganmu, kedatangan kita. engkau menggapaikan tangan memanggilku untuk segera bersatu, tentu saja tak kuasa aku tolak sayang, akupun berlari kearahmu,dengan gelak bahagia, rentang tanganmu terbuka lebar menyambut tubuhku, begitu aku ada dalam pelukanmu kitapun berguling penuh suka cita, aku lumat wajahnya,dan kudaratkan sebuah kecupan penuh kerinduan.
( Seringai burung pipit yang hinggap diranting cemara tak mampu mengalihkan layar cerita yang terkembang, kicaunya berusaha menerobos cela pagi dan mengusik keindahannya, walau perahu itu sudah tak bernahkoda tetap saja berlayar menembus serpihan-serpihan riak ombak ditaburi bintang dan dipayungi bulan yang sendiri ,sendiri bukan berarti sepi )
Kita telah sampai di pondok huma kita sayang, rasa kehilanganku semakin pekat saja, huma yang selalu menjadi tempat pelampiasan kerinduan kita, yang selalu bersedia menampung keluh kesah setelah beberapa masa tak bersua.
“ Ma…Minggu depan Rara gak bisa temui mama..!” katanya masih bergayut manja dilenganku.kutolehkan wajahku kearahnya berusaha tersenyum.
“iya Rara, mama sudah tau..” jawabku datar.
“ Papa sudah kasih tau Mama ya?” tanya Rara polos. Aku mengangguk pelan.kemudian memeluknya erak seperti tidak ingin berpisah terlalu lama dengannya.
“ Iya sayang…Papamu sudah kasih tau mama, kamu hati-hati ya?”pesanku menyolek hidungnya.
“ Rara sebenarnya gak mau ikut papa, Rara pengen sama mama saja
”( Ah..Rara seandainya Papamu tau, betapa ingin mama selalu dekat denganmu sayang.)
“ kan masih banyak waktu buat kita sayang…” ciumku lagi.
( kain sutra bersulam benang cinta,semakin pudar warnanya tersimpan dhati yang telah tergores Jenggala, tak bisa menahan perih,tak mampu pula meratap pada malam,pada kebodohan atau pada ketak berdayaan akan apa yang telah tertuturkan pada selembar kain berbingkai mahligai )
“ Ma..kenapa sih papa sama mama jauhan?” matanya mencari tau jawaban di kelopakku yang lelah. Ah Rara..mama harus bilang apa sayang..
“ mama dan papa ingin sedikit ruang pribadi sayang…, mama harap Rara ngerti ya…” jawabku sambil membetulkan sal dan jaketnya.
“iya tapi kenapa harus begitu ma?” aku diam, Engakau belum saatnya mengerti sayang, kelak seiring bunga mangga dihuma kita berkembang engkau pasti akan mengerti.
“ karena mama dan papa pengen seperti itu..,sudahlah yang penting Rara gak kehilangan mama kan? Rara bisa terus ketemu sama mama kapan saja Rara mau?” hiburku. Dia tersenyum dan memelukku.
“ tapi jangan lama-lama ya ma jauhannya?” aku tersenyum dan mencium pipinya.
( Pagi ini,pagi yang kesekian kita menghabiskan waktu di pondok kecil kita sayang, di sebuah huma di bukit barisan yang menyimpan segala keluh kesahku tanpa dirimu gadis kecilku…)
Lambaian tangan Rara seperti pilu yang mendera hari-hariku selama beberapa minggu mendatang. kubalas lambaian tangannya yang semakin menghilang ketika mobil mantan Suamiku membawanya pulang, Mama akan merindukanmu lagi Rara, pasti!.(*)
Pandaan 17 Juni 2008