Pelukis Tua: Bayu Pramoedya
Diteguknya sisa Kopi yang sudah dingin tersebut,tanpa menoleh,matanya tetap saja tertuju pada kanvas didepannya. Raut tua yang semakin keriput dan kulit tubuh yang semakin kendur dimakan waktu tidak menyisakan keperkasaannya. Pakde Sastro begitu aku memanggilnya.
Adalah sosok pelukis yang sudah punya nama besar dibelantara pelukis pelukis negri ini. Karya karyanya laris manis bak kacang goreng. Bahkan ada yang bilang kalo Pakde Sastro ini bisa disejajarkan dengan Basuki abdullah atau Afandy.
Goresan tanganya memang dasyat, hanya dengan sekali kuas saja. Kanvas putih itu tlah jadi rebutan para penggila lukisan meskipun Pakde sastro mematok dengan harga selangit tapi tetap saja para kolektor tersebut mau membelinya. Hebat! Memang hebat, siapa yang tidak kenal dengan Sastro Dirgo pelukis kawakan yang pernah hidup di jaman Orde baru. Seangkatan Alm Bapakku. Entah kenapa dia selalu menolak di Panggil Bung..padahal semua seniman akan senang bila didepan namanya di beri label “ Bung “.
“ Aku sudah tidak pantas menyandang Gelar Bung “ katanya suatu ketika. “Bung lebih pantas untuk pelukis muda sepertimu le!!” Aku diam. Berselancar dengan kata katanya.
“bagiku Bung adalah gelar kehormatan, dan aku sudah pernah mencicipinya” katanya lagi sambil menghembuskan asap rokok kretek tanpa merek.
“ ketenaran, nama besar sudah pula aku rasakan, tapi tetap saja tidak bisa mengembalikan jiwaku yang luruh karena terlalu lama terlena dengan kebesaran itu” kali ini dia beringsut setelah 1 jam diam duduk di bangku bututnya.
Aku masih diam,pikiranku masih tetap menelaah pembicaraan.” Akh sudahlah..aku lebih senang jika kamu memanggilku pakde” sambungnya lagi.
” Pakde? Sebutan itu terasa indah untuk orang seperti aku yang sudah tidak punya apa apa ini” Kembali Pakde Sastro meneguk sisa kopinya yang sudah habis,hanya tersisa ampasnya saja.
“ aku jadi tidak sendirian, karena ada kamu yang selalu memanggilku Pakde, meskipun kamu Bukan siapa siapaku!” Asap rokok kretek tak bermerek kembali mengepul disela bibirnya yang hitam.
” Kamu harus banyak belajar Tole..,belajar bagaimana menghargai tanganmu..sama halnya aku yang selalu merawat tanganku” aku masih mematung disebelahnya.
Lukisanku semakin kacau sapuannya. “ sebab dari sanalah kenikmatan yang akan kamu teguk..” aku makin dibuat Bodoh dengan ucapan Pakde yang terlalu tinggi menurutku.
” Tanganmu adalah surgamu..” katanya lagi. “ Kamu tau tangan ini sudah membuat aku menjadi Sastro yang begitu terkenal, sampai sampai aku gila karena lupa dengan diriku yang sebenarnya, Aku Sastro yang sangat haus dengan guyuran kenikmatan sampai aku terlena dan bisa tidur nyenyak diatas derita Istri dan anak anakku” Tangannya berhenti sesaat menyapu kanvasnya. Nafasnya tertahan.
Diam. Sunyi sekilas berkelebat diantara kami.” Kamu Liat cermin yang menempel di dinding itu? Setiap hari aku selalu bercermin dan mencari jati diriku yang dulu…” Pakde menunjuk Pecahan Cermin yang menempel di dinding papan di sudut Bale bale.
” Aku sudah terseret jauh dalam derasnya kesombongan dan dalamnya keangkuhan, Sampai pada akhirnya aku berada didasar keputu asaan dan ketidak berdayaan..” Mata pakde berkaca, Dia mulai menangis, Cengeng? Tidak! Dia tidak Cengeng, dia hanya merasakan kegetiran dalam hidupnya. Getir karena Toh semua yang tlah Ia capai tidak mampu membayar kebahagiaannya yang tlah hilang sejak lama.
Dulu sebagai seorang Pemuda, Pakde Sasto sangat piawai menulis kata kata Romantis yang selalu Dia Tuangkan dalam Sketsa sketsa yang membentuk sebuah kisah. Pakde Sastro Dulu memang seorang pelukis Komik Roman. Atau yang lebih populernya lagi Cerita bergambar. Yang sekarang sudah nyaris mati tergilas dengan cerita cerita dari Luar. Aku dulu sangat gemar membaca komik Roman. Tapi sayang Komik komik Karya pakde sudah Hilang, dan hanya tertinggal satu saja itupun sudah tidak utuh lagi karena halamannya sudah dimakan rayap.
Berawal dari sanalah Pakde Sastro memulai Sejarahnya. Dari pelukis Roman biasa, sampai menjadi Pelukis Realis yang disegani dan dihormati.
“ Le, Hatimu jangan sampai Buta, dan biasakanlah kamu memakai kaca mata pelindung, agar Silaunya Duniawi tidak sampai meracunimu” katanya disuatu sore ketika gerimis menjamah tanah yang kering.” Kamu jangan jadi sepertiku! Kamu masih Muda dan masih bisa membenahi apabila langkahmu keliru..” sambungnya lagi, sesekali batukya terdengar. “ Aku sudah Pasrah dengan semua ini, Bahkan dengan kematianku sendiri, aku sudah pasrah..” “ Lho Pakde kok ngomong begitu? “ Selaku. Batuknya terdengar lagi, kali ini lebih keras. “ Suatu saat kamu akan mengerti le..”
ooOOoo
Sebagai Seorang murid ( Katanlah demikian ) aku selalu berusaha menjadi teman dan “anak”nya yang baik, karena Dia sudah tidak punya siapa siapa lagi. Istri dan anak anaknya Lebih memilih tidak mengakui dirinya sebagai Suami dan bapak yang baik.
Tragis memang, disatu sisi Orang begitu mengelu elu kan dirinya karena karyanya yang hebat, di sisi lain ternyata pakde bukan siapa siapa dimata keluarganya. Pakde Sastro dulu lebih memilih selimut tebal yang hangat berguling kenikmatan dengan segala tipe perempuan ketimbang memeluk istri dan membelai anak anaknya. Pakde Sastro sampai melupakan Istri dan darah dagingnya sendiri? Itulah kenyataannya.
Pakde sastro boleh di bilang Don juan , Flamboyan atau apalah. Itu tidak penting baginya, yang pasti apa yang dia mau bisa dia beli dengan tangannya. Tinggal menyapu kuas dengan warna emas jadilah lukisan yang berharga sangat tinggi. Tapi sejak orang sudah tidak lagi merilik lukisanya dan sejak harga lukisannya sudah tidak lagi berharga, Pakde Sastro Gundah, Hidupnya berubah!.tidak ada lagi yang tersisa rumahpun tiada. Pakde Sastro terpuruk dalam surganya., sekarang diusianya yang senja, tinggal dirumah Tua yang tahun depan habis masa kontraknya, Pakde Sastro mencoba menguas sisa sisa kehidupannya.
ooOOoo
Pagi itu seperti biasa aku berkunjung untuk belajar melukis seperti yang sudah sudah, Rumah Kontrakkan Pakde sastro terlihat lenggang, pintu terkunci rapat tidak ada yang aneh karena biasanya juga seperti itu. Kubuka pintu pagar bambu yang sudah reyot, mengetuk seperti biasanya sambil mengucap salam dan menyebut namanya. Hening, tidak terdengar apapun. Aku coba mencari tau lewat pintu samping yang menembus ke halaman belakang yang dijadikan studio lukis tempat aku belajar. Pantas saja aku tidak mendengar jawaban salam, ternyata Pakde Sastro tidur di bale bale dengan tenang, aku mendekat, dan mengguncang
bahunya perlahan. Pakde Sastro masih diam, Tangannya erat memeluk Foto Istri dan anaknya yang sudah lusuh. Pelan aku panggil Namanya “ pakde Sastro.. bangun pakde..” Dingin, Tubuh Pakde sastro terasa Dingin, kuraba denyut nadinya, dan kudekatkan jariku ke hidungnya. Tidak ada tarikan nafas sama sekali. Dan denyut nadinya tlah berhenti. Aku tergagap,persendianku terasa lemas, diatas Bale bambu Pakde sastro terbujur kaku, dan tertidur menelusuri dunia kesendiriannya yang lain.(*)
pernah terbit di Bangka Pos