Oleh: Bayu Pramoedya
Bantaran rel kereta itu menguapkan umurnya yang sudah tidak lagi muda,sudut wajahnya yang tirus serta kerutan di kelopak mata menambah penampilannya semakin tua saja.
Mang Diman begitu orang orang memanggilnya adalah sosok laki laki yang rajin dan tak banyak bicara apalagi menuntut, lakoni saja dengan semestinya tidak neko neko sudah menjadi prinsip hidup bagi laki laki tua itu. Termasuk juga menjalani kehidupan sebagai penjaga lintasan rel kereta sudah menjadi pilihannya sejak lama, dia tidak pernah mengeluh.
“ apa yang harus dikeluhkan?,sudah bekerja saja saya sudah untung!” Katanya waktu itu,ketika aku bertandang ke rumah keduanya ( sebuah Gardu untuk penjaga lintasan kereta )
“ tapi mang,hidup dijaman sekarang,apa cukup dengan gaji yang tidak seberapa itu?” kataku duduk tepat disebelahnya,lalu menyulut sebatang rokok, mang Diman melirikku, aku lalu menyodorkan rokok padanya.
”Sangat tidak sebanding dengan resiko yang akan mang Diman terima?” lanjutku. Mang Diman lagi lagi tersenyum, mengambil sebatang rokok yang kutawarkan tadi lalu memantul mantulkan ujungnya diatas meja.
” Ya sudah terima saja!” jawabnya datar,tidak ada keraguan atau rasa takut terpancar dalam dirinya. Aku diam, dan berharap semoga saja kekawatiranku itu tidak terjawab.
Begitulah hidup, selalu memberikan jalan yang berbeda beda. Namun meskipun demikian mang Diman sangat bahagia dan menikmati semua itu. Setiap malam dengan senang hati dia menelusuri bantaran rel kereta dengan lampu strongkengnya, memastikan semuanya baik baik saja.
Tidak ada tidur malam apalagi mimpi indah, satu satunya mimpi mang Diman adalah melihat anaknya hidup lebih baik dari dirinya.
” Itu harapan mamang..!” ucapnya, saat aku menemaninya menelusuri balok balok rel kereta, sejauh 10 kilo meter berjalan kaki.
Entah kenapa waktu itu aku ingin sekali menemani dan sedikit merasakan pekerjaannya. Berbekal dua bungkus plastik kopi hangat, jaket,dan sebungkus rokok kretek kesukaannya jadilah aku menemani malam panjangnya.
Apa yang aku bayangkan tentang keprihatinanku terhadap mang Diman ternyata lebih berat dari yang aku pikirkan. 20 tahun lebih dia menekuni semua ini tanpa mengeluh, bahkan saat sakitpun keluhan itu tidak pernah terdengar dari bibirnya.
“ Beban itu akan semakin berat, bila kamu menganggapnya sebagai Beban” Mang Diman berkata lagi ketika kami sudah separuh perjalanan.
“ maksudnya mang?”
“ sejak lahir kita hidup sudah membawa beban, Beban tanggung jawab terhadap diri sendiri, orang lain dan Gusti Allah !” aku terdiam,nafasku mulai ngos ngosan.
“ jadi apapun yang Gusti Allah berikan jangan dijadikan beban, terima saja,lapangkan dada”
“ iya Mang..!”
“ capek?!” katanya lagi.
“ ndak kok mang!” cepat cepat aku mengatur nafas agar tak terdengar lelah.
“ pekerjaan saya memang penjaga lintasan kereta, itu juga beban, beban yang Gusti Allah berikan kepada saya, tapi saya tidak menganggapnya beban. Ini sebuah tugas yang harus saya jalankan, dan menganggapnya bukan sebuah beban!” asap rokok kreteknya mengepul disela dingin malam.
“ maka dari itu, saya ndak brani mengeluh” kata kata Mang Diman begitu menusuk otakku.
Sosok laki laki itu memang luar biasa, menjalani hidup dengan apa adanya, memikul tanggung jawab untuk dirinya maupun orang lain. Sungguh mulia hatinya. Tiba tiba saja aku merasa malu dengan diriku sendiri. Malu karena aku tidak punya sikap dan prinsip hidup seperti Mang Diman.(*)